LAMBI CABBI -Menurut sejarah masyarakat setempat, berawal dari Seorang Wali Allah yang bernama Syayid Yahya. Akan Tetapi cucu dari Sayyid Yahya sendiri menyebutnya
dengan julukan Syeikh Mahfudz.
Di daerah Gapura Timur, Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep adalah tempat dimana Syeikh Mahfudz membagi ilmunya. Pada saat ia sedang mengajar, beliau mendapat panggilan dari raja pertama Sumenep yaitu Pangeran Arya Wiraraja. Arya Wiraraja dilantik pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep.
Syeih Mahfudz kaget karena tidak ada air pada waktu itu
untuk mengisi gentong raksasa tersebut. Sedangkan sungai yang ada di sekitar
kerajaan tersebut pun masih dalam kondisi mengering karena hujan yang tak kunjung datang. Kemudian Syeikh Mahfudz bermunajat kepada Allah SWT. Dengan kuasa Allah kemudian awan mendung
datang tiba-tiba air hujan tersebut mampu mengisi gentong air yang besar, hingga akhirnya
gentong tersebut terisi dengan penuh. Namun Syeikh Mahfudz membiarkan air
di dalam gentong itu meluap, hingga air itu meluas sampai ke
kerajaan.
Wallahu A'lam
em
Ilustrasi |
Di daerah Gapura Timur, Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep adalah tempat dimana Syeikh Mahfudz membagi ilmunya. Pada saat ia sedang mengajar, beliau mendapat panggilan dari raja pertama Sumenep yaitu Pangeran Arya Wiraraja. Arya Wiraraja dilantik pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep.
Tujuan dari Arya Wiraraja memanggil Syeikh
Mahfudz ialah untuk memerintahkan beliau untuk menjadi seorang hakim di
kerajaan Sumenep, tetapi beliau meminta waktu beberapa hari untuk mempertimbangkan
titah raja tersebut. Lalu beliau meminta petunjuk kepada Allah. Yang menjadi
pertimbangan bagi Syeikh Mahfudz ialah bahwa ketika beliau memutuskan menerima
perintah dari raja, secara tidak langsung beliau akan menetap di kerajaan.
Sedangkan beliau sendiri masih mempunyai tanggung jawab yang besar, yaitu
mengajar para santrinya.
Dua hari kemudian Syeikh Mahfudz datang
kembali ke kerajaan untuk memberikan jawaban kepada Raja dan berkata,
“Maafkan hamba Gusti! Hamba tidak dapat memenuhi perintah raja untuk menjadi
hakim. Karena hamba takut terikat dan membebankan bagi hamba dengan harus
menjadi seorang hakim. Selain itu, hamba mempunyai tanggung jawab atas
pondok pesantren yang hamba dirikan dan santri-santri hamba. Hamba
pun sangat sayang dengan santri-santri dan tidak tega untuk menginggalkan
mereka. Sehingga berat rasanya untuk menerima tugas yang Gusti berikan pada
hamba”. Mendengar pernyataan dari Syeih Mahfudz, raja tersebut sangat marah, akhirnya Syeikh Mahfud mendapatkan
hukuman, yaitu diperitahkan untuk mengisi gentong air raksasa,
tepatnya di halaman belakang kerajaan. Gentong itu besar dan kering yang tidak
ada airnya sama sekali.
Lalu Raja Menugaskan Patih untuk mengecek Sumber air tersebut, ketemulah patih tersebut dengan Syeh Mahfudz.Kiyai
menceritakan semua yang terjadi kepada raja. Sehingga raja mengatakan dan
menyebutkan bahwa kyai itu adalah “Lambi Cabih” yang
artinya bibir pedas. Maksudnya dari kata “bibir pedas” itu adalah bahwa do’anya
dari Syeih Mahfudz ini mustajab atau cepat terkabul.
Selang kemudian Kiyai pun kembali pulang ke
kampung halamannya. Masyarakat pun mendengar tentang apa yang telah terjadi di
kerajaan bahwa do’a Syeih Mahfudz mustajab (manjur) dan dijuluki kiayi Lambi
Cabih oleh raja Sumenep. Karena sebelumnya desa yang ditempati oleh Syeih
Mahfudz tersebut belum mempunyai nama, maka akhirnya kampung tersebut diberi
nama kampung Lambi Cabih oleh kiyai tepatnya di daerah Gapura Timur Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep. Di sana juga banyak didirikan pondok-pondok
pesantren.
Wallahu A'lam
em
Komentar